. Mereka di sekitar kita
Transgender
merupakan bahasa yang mendeskripsikan seorang individu yang identitasnya tidak
sesuai dengan bahasa konvensional atau umum berkenaan dengan gender laki-laki
ataupun perempuan, dengan kata lain bahwa transgender merupakan manusia yang
dilahirkan dengan raga tertentu tetapi memilik sifat dan perilaku yang
bersebrangan dengan raganya tersebut , masyarakat pada umumnya menyebutnya
dengan bencong[1]
atau tomboy[2],
Orang-orang transgender dapat saja mengidentifikasikan dirinya sebagai heteroseksual,
homoseksual,
biseksual,
panseksual,
poliseksual,
atau aseksual, pada garis besarnya hal tersebut merupakan kencenderungan individu berperilaku
berbeda dari kebanyakan orang, prilaku yang dianggap tidak sewajarnya tersebut
mengkonstruksi pemikiran masyarakat pada umumnya untuk menjustifikasi para
perilaku transgender, Para perilaku transgender merupakan representasi dari
keadaan real di dalam dirinya, mereka memiliki
kecenderungan dimana keadaan nuraninya atau prilaku dalam dirinya sendiri
berkontradiksi dengan keadaan raganya , hal tersebut menjadi tabuh di banyak
masyarakat kita, hal yang di eksternalisasikan oleh para perilaku transgender
di anggap bersebrangan dengan dengan tatanan norma dan keyakinan yang ada di
dalam struktur masyarakat, beberapa norma dan aturan agama seakan membelenggu
keberadaannya sebagai manusia yang ingin merdeka dan menjadi apa adanya,
tatanan tersebut menyeret mereka ke dalam lembah keterasingan dimana seolah
masyarakat dan system telah menghakimi kehidupan dan keinginan mereka untuk
menjadi seorang manusia yang ia kehendaki, keberadaan mereka terasa namun di
pandang sebelah mata, banyak dari mereka yang terasingkan atau bahkan tidak
menerimana tak terkecuali keluarganya, terlempar ke jalan, ke kolong jembatan
ke bantaran rel atau bantaran kali, mengais rezeki dengan menjadi waria
penjajah seks, pengamen dan lain lain tanpa di beri kesempatan bekerja di ranah
formal atau perkantoran, hal tersebut mengindikasikan bahwa telah terjadi
diskriminasi di kehidupan waria atau transgender dimana kebebasannya untuk
mendapatkan pekerjaan secara layak telah terenggut oleh masyarakat yang
membatasinya, kini kehidupannya hanya terasing di tengah riuh dan gemerlapnya
daerah urban seperti Jakarta , tak sedikit pula diantara mereka yang berusaha
keluar dari ketertekanan hidup, banyak gerakan-gerakan dan komunitas yang
menaungi hak-hak dari transgender yang tentunya di bentuk dari kesadaran
kolektif para pelaku transgender dengan harapan bahwa kemudian hari masyarakat
sadar dan mau mengakui keberadaanya di tengah kehidupan dan menerimanya seperti
masyarakat biasa yang menjalankan hidup secara normal,
Kekuasaan, sistem, dan
korelasi dengan para pelaku transgender
Tatanan
dan system telah benar-benar membuat manusia menjadi makhluk yang ambigu,
dimana system dan tatanan norma telah membatasi ruang gerak manusia itu sendiri
untuk menjadi diri sendiri sekaligus membelenggu hak otonom yang dimiliknya,
hal tersebut terjadi oleh sebagian besar manusia tak terkecuali bagi para
perilaku transgender, tatanan norma telah menjadikannya termarjinalkan di
tengah-tengah masyarakat, hak otonom dalam dirinya tercabut ketika mereka lebur
di dalam masyarakat, banyak dari mereka yang terasing, terbuang bahkan tidak
diakui oleh keluarganya hanya karna malu akan kejujuran dalam diri para pelaku
transgender
LACAN
dalam perspektif lacan tentang phallus[3]
yaitu bahwa phallus merupakan konsep atau pemahaman lacan tentang tatanan
simbolik individu dimana system dan norma di internalisasikan ke dalam seorang
individu sehingga nilai dan norma tersebut meresap ke dalam diri seseorang,
lacan membagi fase kehidupan manusia ke dalam tiga tahap yaitu:
the
real: merupakan fase dimana seorang belum dilahirkan yang dianalogikan di
dalam sebuah rahim seorang ibu dimana segala macam kebutuhan dan hasratnya
terpenuhi, oleh asupan makanan dan keberadaan sebuah dinding rahim
the imaginary
: merupakan fase dimana seorang individu memproyeksikan dirinya di dalam sebuah
cermin, dimana tatanan bahasa belum tertata
the symbolic:
fase ini merupakan tahap dimana seorang individu mulai terperangkap ke dalam
kesebuah bahasa “bahasa seperti kuda
troya,sekali terperangkap akan sulit keluar[4]”
dalam
kasus di atas bisa di tarik kesimpulan bahwa konsep phallus dirasakan dan telah
di terima oleh para pelaku transgender dimana phallus atau kekuasaan nilai dan
norma masyarakat telah di ajarkan dalam fase imaginary dimana seseorang mulai
mengenali dirinya secara utuh dan berusaha mencari jati dirinya sebagai manusia
, hal tersebut berkenaan dengan fenomena yang terjadi di sekeliling kita yaitu
transgender, dimana nilai nilai yang telah terstruktur ditanamkan dan di
internalisasikan ke dalam individu sehingga terjadi kontradiksi nilai norma dan
hasrat dalam diri seorang transgender,
dalam
perspektif yang lain juga dapat dilihat bahwa fenomena transgender merupakan
suatu dinamika politik dimana kekuasaan bermain di dalamnya, dimana hasrat
dalam diri manusia telah berkuasa atas raganya, hal tersebut tercermin dari
para pelaku transgender dimana hasrtanya sebagai perempuan harus terjebak di
dalam raga laki-laki yang bersimbolkan penis sebagai sifat maskulin dari
seorang laki-laki,
FUCOULT
Dalam
relasi antara kekuasan dan transgender terkait perspektif fucoult tentang
kekuasaan dimana hal tersebut berperan dalam kehidupan manusia tak terkecuali
para perilaku transgender, fucoult menjelaskan bahwa kekuasaan bersifat dinamis
dan berada dimana-mana, dalam hal ini para transgender mempunyai kekuasaan
absolute di dalam dirinya yang dapat mengeksploitasi tubuhnya secara otonom,
hal ini mengindikasikan bahwa para pelaku transgender mempunyai kekuasaan atas
dirinya, namun kekuasaan tersebut pudar ketika mereka terjun ke dalam sebuah
masyarakat yang mempunyai tatanan norma dan nilai baik buruk, maka dalam ranah
public para pelaku transgender harus tunduk kepada tatanan yang bersifat laten
tersebut, hal ini menjelaskan bahwa
kekuasaan berada dimana mana dan bersifat fleksibel dan dinamis, para pelaku
transgender dipaksa tunduk oleh system ketika meraka terjun ke jalan, bantaran
rel lain lain mereka harus menahan sebuah malu akan cacian cemoohan atau
mungkin ejekan yang bersifat fisik seperti lemparan uang receh dan lain-lain ,
namun berbeda ketika mereka terjun kedalam sebuah tempat prostitusi dimana di
dalamnya terdapat para waria dan penjajah seks komerssial, mereka berkuasa akan
dirinya dan badannya yang secara bebas di “beli” oleh siapapun, dalam
sebuah buku di katakana juga bahwa “ dunia
ini adallah kehendak untuk berkuasa dan tidak lebih dari itu”[5],
hal ini membuktikan bahwa kekuasaan berada dimana-mana
Dari
dua perspektif diatas telah di jabarkan bagaimana korelasi antara kekuasaan,
system dan transgender yang saling terkait di paparkan pula bahwa pelaku
transgender mengalami fase the imaginary dimana individu tersebut telah
memproyeksikan dirinya ke dalam sebuah cermin dan lewat cermin tersebut seorang
individu dapat mencari kebenaran atas dirinya, hal tersebut berkenaan oleh para
pelaku transgender dimana mereka melewati fase cermmin dimana mereka melihat
naluri dan hasrat yang berbeda dengan raganya sebagai manusia,
di
era modernisasi seperti sekarang fenomena transgender layaknya jarum di
tumpukan jerami, keberadaannya terasa di tengah kita, namun sekaligus
keberadaannya pula di abaikan dan di pandang sebelah mata di kehidupan, arus
globalisasi serta kemajuan ilmu teknologi juga berperan dalam kemajuan manusia
dalam berfikir, globalisasi dan perkembangan iptek yang semakin kuat secara tak
langsung telah membuka sedikit mata dari kita tentang transgender, masyarakat
minoritas yang berfikir dengan rasionya transgender diangggap sebagai bentuk
eksternalisasi diri terhadap hasratnya yang berbeda dengan raganya, berada di
bawah tekanan dan dianggap berbeda dari masyarakat pada umumnya membut para
prilaku transgender merasa minder dan termarjinalkan dihidupnya , hal tersebut
membuat mereka terisolasi pada masyarakat umum dan membuka cakrawala
pemikirannya untuk bisa memeberdayakan dirinya sendiri.
ANTHONY
GIDDENS
Dalam
perspektif gidens tentang struktur, bahwa struktur tidak hanya menindas namun
juga bersifat memberdayakan, hal tersebut telah menjadikan para pelaku transgender
mandiri dan berdaya, setelah mereka melihat realitas yang pahit di
sekelilingnya dimana masyarakat mengucilkan dan memarjinalkan mereka melihat
tak adalagi yang dapat disandarkan atau di harapkan dari realitas yang membuat
kehidupan mereka pahit, dengan kesadaran kolektif memandang akan realitas yang
pahit para pelaku transgender memilih jalan hidup untuk bisa berdiri diatas
kaki sendiri, hal ini mengindikasikan bahwa perspektif gidens berkorelasi
dengan realitas transgender dimana struktur telah mendisiplinkan atau
memberdayakan kehidupan dari transgeder tersebut, dengan struktur yang
terbentuk secara laten di masyarakat, transgender lebih bisa mandiri dan
memberdayakan dirinya dengan mendirikan komunitas , mengadakan aksi kampanye
bahaya seks bebas, dan lain-lain, hal tersebut juga bisa menunjukan sejauhmana
eksistensi mereka berdiri melawan penidasan dan budaya mayoritas,
Dalam
realitas hidup bisa kita lihat bahwa banyak pelaku transgender yang telah
memberdayakan hidupnya, salah seorang pelaku di Indonesia adalah seorang public
figure yaitu dorce, dengan kondisinya yaitu seorang pelaku transgender dia
telah memberdayakan hidupnya dan berperan aktif sebagai aktifis transgender,
hal tersebut membuktikan bahwa struktur yang di bentuk di masyarakat telah
mampu mendisiplinkan dan memberdayakan kehidupannya sebagai seorang
transgender,
Sebagian
para pelaku transgender terbukti telah melakukan pemberdayaan di dalam dirinya,
dengan terjun ke masyarakat tanpa malu, melakukan kegiatan yang bersifat persuasive
dengan tujuan menyadarkan pola pikir masyarakat akan kehidupan mereka, jauh di
dalam dirinya transgender mempunyai kesakitan yang mendalam dimana kehidupannya
banyak di caci dan dimaki namun sekaligus mereka merasakan kenikmatan di dalam
dirinya, hal tersebut mengindikasikan bahwa teori lacan bermain
LACAN
jouisance merupakan konsep dimana lacan
mengungkapkan kenikmatan manusia adalah kenikmatan yang didasari karena
kesengsaraannya, dimana hasrat yang telah terpuaskan merupakan hasil dari
kesengsaraan yang telah dilaluinya, hal tersebut memiliki relevansi dengan para
pelaku transgender , mayoritas dari para prilaku transgender pernal mengalami
fase dimana mereka di adili oleh public dan masyarakat dalam bentuk cacian dan
makian hal ini tentu saja menimbulkan rasa sakit oleh mental dan jiwanya
sebagai manusia , tak sedikit pula masyarakat yang mendiskriminasikan
keberadaannya di kehidupan, dengan membedakan para pelaku transgender dengan
masyarakat pada umumnya , tentunya hal ini berdampak bagi psikis mereka, namun
di balik kesengsaraan yang mereka dapatkan kenikmatan dan kemerdekaan diri
mereka dapatkan, dengan eksternalisasi diri yang mereka tampakan mereka
menggambarkan keadaan yang real di dalam dirinya hal tersebut merekaanggap
sebagai kepuasan bathin dimana dirinya telah
berhasil mengaktualisasikan dirinya ke kondisi mereka yang baru,
dari
contoh kasus di atas membuktikan bahwa para transgender telah menjawab
tantangan tantangan hidup, hal tersebut terbukti dengan eksistensi mereka yang
tetap ada sampai sekarang meskipun keberadaannya masih di bawah tanah , para
pelaku transgender juga telah
membuktikan bahwa mereka mampu memberdayakan dirinya di tengah-tengah
masyarakat yang mendiskriminasikannya
Dari
fenomena dan kajian tentang transgender di atas dapat di tarik sebuah
kesimpulan bahwa fenomena ini merupakan kejadian yang berangkat atas adasar keinginan
mendalam dari diri seseorang dimana hasrat dan kemauan dalam diri memaksa
seorang individu meng eksternalisasikan dirnya sebagai apa yang ada di
nuraninya, hal tersebut menjadi tabuh ketika hasrat dalam diri berkontradiksi
dengan raga atau jasatnya sebagai seorang manusia, transgender merupakan
seorang yang terkonsep sesuai nalurinya namun bertolak belakang dengan realitas
, seorang bencong mempunyai hasrat
dan naluri perempuan namun penis dan tubuhnya seakan memenjarakan hasratnya
tersebut, hal yang tabuh muncul ketika si bencong tersebut meng
eksternalisasikan tubuhnya sebagai perempuan namun berbadan laki-laki, lalu
kemudian system dan norma telah membatasinya dalam berkehidupan, maslah yang
terjadi semakin kompleks ketika masyarakat telah menjadi hakim atas
kehidupannya, mendiskriminasikannya, melemparnya ke jalan ke bantaran rel ke
tempat-tempat prostitusi bahkan dianggap sebagai masalah sosial, namun dengan
struktur laten yang di buat masyarakat struktur tersebut tidak serta merta
menindas namun telah memberdayakan pelaku transgender tersebut, melalui system
para pelaku transgender di disiiplinkan sehingga mampu berusaha sendiri dengan
jkaki dan tangannya sendiri, telah banyak LSM dan komunitas transgender sebagi
bukti eksistensinya sebagai manusia yang lebih memanusiakan manusia salah
satunya dengan kampanye bahaya seks bebas, hal tersebut berkenaan dengan teori
Anthony gidens tentang struktur,
seraya kehidupannya yang pahit para pelaku
transgender juga telah melewati konsep yang dikemukakan oleh lacan tentang
jouisance yaitu konsep dimana kenikmatan merupakan buah dari sakit yang
diderita, hal tersebut terjadi bagi mayoritas para pelaku transgender dimana
cacian ginjingan, makian bahkan kekerasan fisik dan seksual mereka alami, namun
dibalik itu semua mereka merasakan nikmat sebagai becong atau pelaku transgender yang telah berhasil meng ekspresikan
hasrat dalam dirinya di dalam sebuh raga yang disebut laki-laki ke dalam sebuah
kehidupan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar