Kamis, 27 Februari 2014

TRANSGENDER MENATAP REALITAS



. Mereka di sekitar kita
Transgender merupakan bahasa yang mendeskripsikan seorang individu yang identitasnya tidak sesuai dengan bahasa konvensional atau umum berkenaan dengan gender laki-laki ataupun perempuan, dengan kata lain bahwa transgender merupakan manusia yang dilahirkan dengan raga tertentu tetapi memilik sifat dan perilaku yang bersebrangan dengan raganya tersebut , masyarakat pada umumnya menyebutnya dengan bencong[1] atau tomboy[2], Orang-orang transgender dapat saja mengidentifikasikan dirinya sebagai heteroseksual, homoseksual, biseksual, panseksual, poliseksual,  atau aseksual, pada garis besarnya hal tersebut merupakan kencenderungan individu berperilaku berbeda dari kebanyakan orang, prilaku yang dianggap tidak sewajarnya tersebut mengkonstruksi pemikiran masyarakat pada umumnya untuk menjustifikasi para perilaku transgender, Para perilaku transgender merupakan representasi dari keadaan real  di dalam dirinya, mereka memiliki kecenderungan dimana keadaan nuraninya atau prilaku dalam dirinya sendiri berkontradiksi dengan keadaan raganya , hal tersebut menjadi tabuh di banyak masyarakat kita, hal yang di eksternalisasikan oleh para perilaku transgender di anggap bersebrangan dengan dengan tatanan norma dan keyakinan yang ada di dalam struktur masyarakat, beberapa norma dan aturan agama seakan membelenggu keberadaannya sebagai manusia yang ingin merdeka dan menjadi apa adanya, tatanan tersebut menyeret mereka ke dalam lembah keterasingan dimana seolah masyarakat dan system telah menghakimi kehidupan dan keinginan mereka untuk menjadi seorang manusia yang ia kehendaki, keberadaan mereka terasa namun di pandang sebelah mata, banyak dari mereka yang terasingkan atau bahkan tidak menerimana tak terkecuali keluarganya, terlempar ke jalan, ke kolong jembatan ke bantaran rel atau bantaran kali, mengais rezeki dengan menjadi waria penjajah seks, pengamen dan lain lain tanpa di beri kesempatan bekerja di ranah formal atau perkantoran, hal tersebut mengindikasikan bahwa telah terjadi diskriminasi di kehidupan waria atau transgender dimana kebebasannya untuk mendapatkan pekerjaan secara layak telah terenggut oleh masyarakat yang membatasinya, kini kehidupannya hanya terasing di tengah riuh dan gemerlapnya daerah urban seperti Jakarta , tak sedikit pula diantara mereka yang berusaha keluar dari ketertekanan hidup, banyak gerakan-gerakan dan komunitas yang menaungi hak-hak dari transgender yang tentunya di bentuk dari kesadaran kolektif para pelaku transgender dengan harapan bahwa kemudian hari masyarakat sadar dan mau mengakui keberadaanya di tengah kehidupan dan menerimanya seperti masyarakat biasa yang menjalankan hidup secara normal,    

Kekuasaan, sistem, dan korelasi dengan para pelaku transgender
Tatanan dan system telah benar-benar membuat manusia menjadi makhluk yang ambigu, dimana system dan tatanan norma telah membatasi ruang gerak manusia itu sendiri untuk menjadi diri sendiri sekaligus membelenggu hak otonom yang dimiliknya, hal tersebut terjadi oleh sebagian besar manusia tak terkecuali bagi para perilaku transgender, tatanan norma telah menjadikannya termarjinalkan di tengah-tengah masyarakat, hak otonom dalam dirinya tercabut ketika mereka lebur di dalam masyarakat, banyak dari mereka yang terasing, terbuang bahkan tidak diakui oleh keluarganya hanya karna malu akan kejujuran dalam diri para pelaku transgender

LACAN
 dalam perspektif lacan tentang phallus[3] yaitu bahwa phallus merupakan konsep atau pemahaman lacan tentang tatanan simbolik individu dimana system dan norma di internalisasikan ke dalam seorang individu sehingga nilai dan norma tersebut meresap ke dalam diri seseorang, lacan membagi fase kehidupan manusia ke dalam tiga tahap yaitu:
 the real: merupakan fase dimana seorang belum dilahirkan yang dianalogikan di dalam sebuah rahim seorang ibu dimana segala macam kebutuhan dan hasratnya terpenuhi, oleh asupan makanan dan keberadaan sebuah dinding rahim
the imaginary : merupakan fase dimana seorang individu memproyeksikan dirinya di dalam sebuah cermin, dimana tatanan bahasa belum tertata
the symbolic: fase ini merupakan tahap dimana seorang individu mulai terperangkap ke dalam kesebuah bahasa “bahasa seperti kuda troya,sekali terperangkap akan sulit keluar[4]
dalam kasus di atas bisa di tarik kesimpulan bahwa konsep phallus dirasakan dan telah di terima oleh para pelaku transgender dimana phallus atau kekuasaan nilai dan norma masyarakat telah di ajarkan dalam fase imaginary dimana seseorang mulai mengenali dirinya secara utuh dan berusaha mencari jati dirinya sebagai manusia , hal tersebut berkenaan dengan fenomena yang terjadi di sekeliling kita yaitu transgender, dimana nilai nilai yang telah terstruktur ditanamkan dan di internalisasikan ke dalam individu sehingga terjadi kontradiksi nilai norma dan hasrat dalam diri seorang transgender,
dalam perspektif yang lain juga dapat dilihat bahwa fenomena transgender merupakan suatu dinamika politik dimana kekuasaan bermain di dalamnya, dimana hasrat dalam diri manusia telah berkuasa atas raganya, hal tersebut tercermin dari para pelaku transgender dimana hasrtanya sebagai perempuan harus terjebak di dalam raga laki-laki yang bersimbolkan penis sebagai sifat maskulin dari seorang laki-laki,

FUCOULT
Dalam relasi antara kekuasan dan transgender terkait perspektif fucoult tentang kekuasaan dimana hal tersebut berperan dalam kehidupan manusia tak terkecuali para perilaku transgender, fucoult menjelaskan bahwa kekuasaan bersifat dinamis dan berada dimana-mana, dalam hal ini para transgender mempunyai kekuasaan absolute di dalam dirinya yang dapat mengeksploitasi tubuhnya secara otonom, hal ini mengindikasikan bahwa para pelaku transgender mempunyai kekuasaan atas dirinya, namun kekuasaan tersebut pudar ketika mereka terjun ke dalam sebuah masyarakat yang mempunyai tatanan norma dan nilai baik buruk, maka dalam ranah public para pelaku transgender harus tunduk kepada tatanan yang bersifat laten tersebut, hal ini menjelaskan  bahwa kekuasaan berada dimana mana dan bersifat fleksibel dan dinamis, para pelaku transgender dipaksa tunduk oleh system ketika meraka terjun ke jalan, bantaran rel lain lain mereka harus menahan sebuah malu akan cacian cemoohan atau mungkin ejekan yang bersifat fisik seperti lemparan uang receh dan lain-lain , namun berbeda ketika mereka terjun kedalam sebuah tempat prostitusi dimana di dalamnya terdapat para waria dan penjajah seks komerssial, mereka berkuasa akan dirinya dan badannya yang secara bebas di “beli” oleh siapapun,   dalam sebuah buku di katakana juga bahwa “ dunia ini adallah kehendak untuk berkuasa dan tidak lebih dari itu[5], hal ini membuktikan bahwa kekuasaan berada dimana-mana

Dari dua perspektif diatas telah di jabarkan bagaimana korelasi antara kekuasaan, system dan transgender yang saling terkait di paparkan pula bahwa pelaku transgender mengalami fase the imaginary dimana individu tersebut telah memproyeksikan dirinya ke dalam sebuah cermin dan lewat cermin tersebut seorang individu dapat mencari kebenaran atas dirinya, hal tersebut berkenaan oleh para pelaku transgender dimana mereka melewati fase cermmin dimana mereka melihat naluri dan hasrat yang berbeda dengan raganya sebagai manusia,


menjawab sebuah tantangan hidup
di era modernisasi seperti sekarang fenomena transgender layaknya jarum di tumpukan jerami, keberadaannya terasa di tengah kita, namun sekaligus keberadaannya pula di abaikan dan di pandang sebelah mata di kehidupan, arus globalisasi serta kemajuan ilmu teknologi juga berperan dalam kemajuan manusia dalam berfikir, globalisasi dan perkembangan iptek yang semakin kuat secara tak langsung telah membuka sedikit mata dari kita tentang transgender, masyarakat minoritas yang berfikir dengan rasionya transgender diangggap sebagai bentuk eksternalisasi diri terhadap hasratnya yang berbeda dengan raganya, berada di bawah tekanan dan dianggap berbeda dari masyarakat pada umumnya membut para prilaku transgender merasa minder dan termarjinalkan dihidupnya , hal tersebut membuat mereka terisolasi pada masyarakat umum dan membuka cakrawala pemikirannya untuk bisa memeberdayakan dirinya sendiri.


ANTHONY GIDDENS
Dalam perspektif gidens tentang struktur, bahwa struktur tidak hanya menindas namun juga bersifat memberdayakan, hal tersebut telah menjadikan para pelaku transgender mandiri dan berdaya, setelah mereka melihat realitas yang pahit di sekelilingnya dimana masyarakat mengucilkan dan memarjinalkan mereka melihat tak adalagi yang dapat disandarkan atau di harapkan dari realitas yang membuat kehidupan mereka pahit, dengan kesadaran kolektif memandang akan realitas yang pahit para pelaku transgender memilih jalan hidup untuk bisa berdiri diatas kaki sendiri, hal ini mengindikasikan bahwa perspektif gidens berkorelasi dengan realitas transgender dimana struktur telah mendisiplinkan atau memberdayakan kehidupan dari transgeder tersebut, dengan struktur yang terbentuk secara laten di masyarakat, transgender lebih bisa mandiri dan memberdayakan dirinya dengan mendirikan komunitas , mengadakan aksi kampanye bahaya seks bebas, dan lain-lain, hal tersebut juga bisa menunjukan sejauhmana eksistensi mereka berdiri melawan penidasan dan budaya mayoritas,
Dalam realitas hidup bisa kita lihat bahwa banyak pelaku transgender yang telah memberdayakan hidupnya, salah seorang pelaku di Indonesia adalah seorang public figure yaitu dorce, dengan kondisinya yaitu seorang pelaku transgender dia telah memberdayakan hidupnya dan berperan aktif sebagai aktifis transgender, hal tersebut membuktikan bahwa struktur yang di bentuk di masyarakat telah mampu mendisiplinkan dan memberdayakan kehidupannya sebagai seorang transgender,
Sebagian para pelaku transgender terbukti telah melakukan pemberdayaan di dalam dirinya, dengan terjun ke masyarakat tanpa malu, melakukan kegiatan yang bersifat persuasive dengan tujuan menyadarkan pola pikir masyarakat akan kehidupan mereka, jauh di dalam dirinya transgender mempunyai kesakitan yang mendalam dimana kehidupannya banyak di caci dan dimaki namun sekaligus mereka merasakan kenikmatan di dalam dirinya, hal tersebut mengindikasikan bahwa teori lacan bermain

LACAN
 jouisance merupakan konsep dimana lacan mengungkapkan kenikmatan manusia adalah kenikmatan yang didasari karena kesengsaraannya, dimana hasrat yang telah terpuaskan merupakan hasil dari kesengsaraan yang telah dilaluinya, hal tersebut memiliki relevansi dengan para pelaku transgender , mayoritas dari para prilaku transgender pernal mengalami fase dimana mereka di adili oleh public dan masyarakat dalam bentuk cacian dan makian hal ini tentu saja menimbulkan rasa sakit oleh mental dan jiwanya sebagai manusia , tak sedikit pula masyarakat yang mendiskriminasikan keberadaannya di kehidupan, dengan membedakan para pelaku transgender dengan masyarakat pada umumnya , tentunya hal ini berdampak bagi psikis mereka, namun di balik kesengsaraan yang mereka dapatkan kenikmatan dan kemerdekaan diri mereka dapatkan, dengan eksternalisasi diri yang mereka tampakan mereka menggambarkan keadaan yang real di dalam dirinya hal tersebut merekaanggap sebagai kepuasan bathin dimana dirinya telah  berhasil mengaktualisasikan dirinya ke kondisi mereka yang baru,

dari contoh kasus di atas membuktikan bahwa para transgender telah menjawab tantangan tantangan hidup, hal tersebut terbukti dengan eksistensi mereka yang tetap ada sampai sekarang meskipun keberadaannya masih di bawah tanah , para pelaku  transgender juga telah membuktikan bahwa mereka mampu memberdayakan dirinya di tengah-tengah masyarakat yang mendiskriminasikannya


Dari fenomena dan kajian tentang transgender di atas dapat di tarik sebuah kesimpulan bahwa fenomena ini merupakan kejadian yang berangkat atas adasar keinginan mendalam dari diri seseorang dimana hasrat dan kemauan dalam diri memaksa seorang individu meng eksternalisasikan dirnya sebagai apa yang ada di nuraninya, hal tersebut menjadi tabuh ketika hasrat dalam diri berkontradiksi dengan raga atau jasatnya sebagai seorang manusia, transgender merupakan seorang yang terkonsep sesuai nalurinya namun bertolak belakang dengan realitas , seorang bencong mempunyai hasrat dan naluri perempuan namun penis dan tubuhnya seakan memenjarakan hasratnya tersebut, hal yang tabuh muncul ketika si bencong tersebut meng eksternalisasikan tubuhnya sebagai perempuan namun berbadan laki-laki, lalu kemudian system dan norma telah membatasinya dalam berkehidupan, maslah yang terjadi semakin kompleks ketika masyarakat telah menjadi hakim atas kehidupannya, mendiskriminasikannya, melemparnya ke jalan ke bantaran rel ke tempat-tempat prostitusi bahkan dianggap sebagai masalah sosial, namun dengan struktur laten yang di buat masyarakat struktur tersebut tidak serta merta menindas namun telah memberdayakan pelaku transgender tersebut, melalui system para pelaku transgender di disiiplinkan sehingga mampu berusaha sendiri dengan jkaki dan tangannya sendiri, telah banyak LSM dan komunitas transgender sebagi bukti eksistensinya sebagai manusia yang lebih memanusiakan manusia salah satunya dengan kampanye bahaya seks bebas, hal tersebut berkenaan dengan teori Anthony gidens tentang struktur,
 seraya kehidupannya yang pahit para pelaku transgender juga telah melewati konsep yang dikemukakan oleh lacan tentang jouisance yaitu konsep dimana kenikmatan merupakan buah dari sakit yang diderita, hal tersebut terjadi bagi mayoritas para pelaku transgender dimana cacian ginjingan, makian bahkan kekerasan fisik dan seksual mereka alami, namun dibalik itu semua mereka merasakan nikmat sebagai becong atau pelaku transgender yang telah berhasil meng ekspresikan hasrat dalam dirinya di dalam sebuh raga yang disebut laki-laki ke dalam sebuah kehidupan


[1]. .Merupakan bahasa sederhana bagi para pelaku transgender
[2] . sifat kelaki-lakian yang dimiliki oleh perempuan
[3] . merupakan konsep yang di ungkapkan lacan
[4]. lacan
[5] Filsafat modern, dari machiaveni sampai nietze , F. Budi hardiman (PT.gramedia pustaka utama 2004)